Sabtu, 26 September 2009

PERUBAHAN FISIOLOGI, GEJALA PATOLOGI YANG DAPAT MENYERANG SEORANG PILOT PENERBANG AKIBAT PENGARUH KETINGGIAN & LINGKUNGAN HIPOKSIA



KASUS                                                                                               
Pada masa Perang Dunia II, sering kita menemukan petikan pengakuan dari  tentara sekutu yang tergabung dalam divisi pertahanan udara , menceriterakan bagaimana usaha mereka  bermanuver  guna menghindari sergapan pesawat-pesawat tempur  jepang dan jerman dengan jalan melakukan terbang pada suatu ketinggian, dimana mereka sendiri  tidak mengetahui berada pada ketinggian berapa.  Hal ini di mungkinkan karena  secara tehnologi banyak pesawat-pesawat yang di produksi pada era itu masih menggunakan tehnologi  yang masih sederhana dan belum dilengkapi dengan  kit pencatat ketinggian dan pengatur tekanan dalam pesawat.  Sehingga banyak diantara mereka yang mengaku mengalami kehilangan kesadaran sesaat ( exite from wake up  for  a few minute ),  yang didahului dengan berbagai  gejala awal, mulai  dari perasaan euphoria,mengantuk, reflex tubuh melambat, rasa lemas, lemah, mental bingung, kosong, kedutan otot, parestesia,bahkan ada yang pesawatnya jatuh tidak terkendali karena sang pilot mengalami proses komplikasi yang lebih berat dan jatuh  dalam keadaan koma.


FISIOLOGI MANUSIA                              
Natural  habitat hidup  manusia  yang  sudah berjalan sejak jutaan tahun yang lalu, dimana manusia untuk pertama kalinya  mendarat di planet bumi  hingga sampai di abad 21 ini , telah berhasil  ber evolusi dan melakukan adaptasi ( aklimatisasi ) terhadap habitat hidup pada atsmosfir di ketinggian sejajar dengan permukaan laut , yang disebut  Zona 0 ( Zona Nol ).   Pada zona Nol tersebut, selama ratusan juta tahun pula,semua mekanisme system pengendalian di dalam sel  tubuh manusia telah terkondisi secara fisiologis untuk bisa bekerja pada  lingkungan  yang mempunyai  gaya bertekanan=  760 mmHg (= 1 Atm. ).
Dari berbagai penyelidikan, maka makin diketahui  adanya fenomena yang berlaku alami bahwasanya semakin tinggi  letak suatu habitat alam di dalam atsmosfir bumi , jika diukur dari permukaan air laut, maka semakin  turun pula tekanan yang akan diterimanya, demikian sebaliknya  semakin turun ke bawah di ukur dari permukaan laut, maka tekanan yang akan diterima sel tubuh manusia akan semakin besar .   Sebagai gambaran :
Pada ketinggian 10.000 kaki dari zona 0, maka gaya tekanan yang diterima tubuh turun menjadi = 523 mmHg. Dan seterusnya hingga pada ketinggian 50.000 kaki maka gaya tekanan  yang diterima oleh tubuh makin turun menjadi = 87 mmHg.

Gaya Tekanan dari luar sangat mempengaruhi kelangsungan hidup dari semua makhluk hidup di muka bumi. Prinsip-prinsip   mekanisme  kimia  dan  fisika  yang berlaku dalam pola fisiologi kinerja sel-sel tubuh dapat kita lihat  dari berbagai macam mekanisme pengaturan  tubuh, mulai  dari tingkat ion  sampai tingkat membrane sellular  semuanya menganut  mekanisme proses perbedaan muatan ion dan tekanan,  di samping  terdapat mekanisme Transpor aktif,   dimana ion akan berpindah dari suatu ruang ke ruang lain, dan   terkadang untuk  tujuan itu harus  menembus  dinding  sel  terlebih dahulu. Hal tersebut dapat terjadi  karena adanya  perbedaan  muatan dan tekanan antara kondisi didalam dan di luar sel.  Hukum tersebut berlaku juga berlaku pada mekanisme terjadinya Proses PernafasanRespirasi  ).   Secara fisiologi, Proses Respirasi sebenarnya merupakan bagian dari proses fisika dan kimia, yaitu berupa proses pertukaran gas O2 ( Oxygen ) dengan gas CO2 ( Carbondioksida ) didalam jaringan Alveolus Paru-paru , menembus membrane sel-sel alveoli untuk berikatan dengan Haemoglobin ( Hb) yang mempunyai PO2 yang negative, proses dapat berjalan  karena adanya perbedaan tekanan antar gas-gas terutama antara gas O2 dan CO2 didalam Lumen Alveoli.  Pertukaran O2 akan berlangsung baik ( dapat berdifusi masuk dalam Haemoglobin Sel Erythrocyte dengan  baik ),  jika terdapat suatu tekanan O2 (PO2) yang positif di lumen alveolus ( PO2 alveoli yang Positif ) sedangkan tekanan O2  (PO2) Haemoglobin di dalam sel erythrocyte ( sel darah merah ) dalam keadaan negative. Demikian juga dengan  tekanan gas CO2  ( PCO2 Alveoli )  yang harus negative di dalam lumen alveoli,  serta  tekanan gas CO2 ( PCO2 ) yang harus positif  didalam Haemoglobin (Hb) sel erythrocyte.
Jika terdapat keadaan dimana tekanan O2 dalam alveoli menurun maka seseorang akan mudah jatuh dalam kondisi  hipoksia  dengan gejala2 awal berupa sakit kepala, cyanosis, sesak ,otot menjadi lemah, fasciculasi, paraestesia, kehilangan keseimbangan , intelegensi menurun, reflex menurun,  tetani, gelisah, kesadaran menurun, berkabut  dari mengantuk hingga koma.



LINGKUNGAN  HIPOKSIA

Adalah suatu habitat hidup dimana kadar oxygen, ditemukan dalam kadar sangat rendah, sehingga tidak memenuhi kuota untuk di serap oleh Haemoglobin sel erythrocyte  guna  keperluan sirkulasi darah sistemik
Dalam lingkungan Hipoksia maka ruang di udara akan dipenuhi oleh sejumlah fraksi-fraksi dari volume-volume gas yang justru didominasi oleh gas-gas non-oksigen, semisal :   Carbondioksida ( CO2), Nitrogen, sulfur dan sebagainya.
Terdapat  2 kondisi lingkungan yang dapat menyebabkan turunnya kadar gas oxygen ( O2 ) menjadi rendah, a.l.:
1.    Naiknya fraksi  volume gas CO2 yang memenuhi udara di atsmosfer  lingkungan tersebut.
2.    Naiknya fraksi  volume gas H2O (uap air ) yang memenuhi udara di atsmosfer  lingkungan tersebut.


PENGARUH  KETINGGIAN  TERHADAP PERUBAHAN  TEKANAN GAS  YANG  DAPAT  MENCETUSKAN  TERJADINYA  HIPOKSIA          
Seperti  telah diuraikan sebelumnya, bahwa semakin tinggi suatu  wilayah  geografis diukur dari permukaan air laut, maka akan semakin turun  pula, gaya tekanan yang akan diterima oleh seluruh benda , tidak terkecuali sel-sel  tubuh  dan  gas-gas yang beredar di atsmosfer bumi.   Hal ini tentu akan membuat perubahan yang signifikan  terhadap  respon sel  terhadap lingkungan luar, disisi lain juga  terjadi  perubahan  keseimbangan dari gambaran komposisi  gas yang berada didalam lumen alveoli, sebagai gambaran adalah pada ketinggian Nol (= sejajar dengan permukaan air laut ), maka besarnya tekanan gas O2 di lumen alveoli adalah = 104 mmHg. Kemudian pada ketinggian 20.000 kaki maka tekanan gas O2 berkisar = 51 - 64 mmHg,  tekanan gas CO2 di lumen alveoli  mulai di turun bawah normal (= 40 mmHg ) namun  tekanan H2O masih normal (= 47 mmhg ). Dengan adanya perubahan tekanan tersebut ternyata sangat berpengaruh terhadap tingkat kejenuhan kadar gas oksigen ( O2 ) didalam cairan darah  pembuluh arteri .  Perubahan tingkat kejenyhan tersebut dapat di gambarkan sebagai berikut :
1.    Pada ketinggian Nol ( zona 0 ), maka tingkat kejenuhan darah arteri sebesar  98% (= 98 mmHg).
2.    Pada ketinggian 10.000 kaki, tingkat kejenuhan darah arteri terhadap gas oksigen sebesar 90% ( = 90 mmHg ).
3.    Pada ketinggian 20.000 kaki, tingkat kejenuhan darah arteri terhadap gas oksigen sebesar  65% – 70%  ( 65 mmHg).
4.    Pada ketinggian 30.000 kaki, tingkat kejenuhan darah arteri terhadap gas oksigen turun drastic menjadi sebesar 18%  (= 18 mmHg.).


Untuk lebih mudah nya  memahami  gambaran perubahan komposisi perimbangan fraksi dari volume gas yang terdapat pada ketinggian atsmosfer bumi, maka akan di sajikan Contoh  pada ketinggian 29.028 kaki.  Pada ketinggian ini tercatat tekanan barometer menunjukkan angka = 253 mmHg.
Dari  angka 253 mmHg ini maka sebesar = 47 mmHg- nya merupakan fraksi  dari  tekanan gas H2O ( uap air ), dan  sisa sebesar = 206 mmHg  merupakan tekanan kumulatif   dari gas-gas lain.   Pada beberapa orang yang sudah beradaptasi ( aklimatisasi ) , maka sebanyak = 7 mmHg dari  tekanan kumulatif yang sebesar =  206 mmHg  tadi,  merupakan  bagian dari tekanan gas CO2, sehingga masih terdapat  sisa tekanan gas kumulatif sebesar   = 199 mmHg, dari sisa ini maka sebesar = 39 - 40 mmHg   merupakan tekanan dari gas O2 dan sisanya sebesar = 160 mmHg  merupakan tekanan gas  nitrogen
 
Dari kondisi  diatas maka akan menghasilkan  tekanan oksigen ( PO2  ) di lumen alveoli paru-paru  sebesar = 40 mmHg , dan nilai ini  merupakan batas minimal dari Tekanan gas O2 dalam lumen alveoli untuk bisa berdifusi ke dalam darah ).  Proses ini masih belum berhenti  , dan dalam proses selanjut nya sebagian akan di absorbsi  kedalam darah dan menyisakan tekanan oxygen di lumen alveoli ( PO2 ) sebesar  = 35 mmHg.  Dengan tekanan oxygen  ( PO2 ) alveoli paru yang hanya sebesar = 35 mmHg ini , maka bagi orang  yang  belum ter- aklimatisasi ( adapted  ) maka akan meninggal karena hipoksia.          


Gejala klinis dari hipoksia meliputi :
         Gejala dini dari hipoksia sering dirasakan mulai muncul  pertama kali apabila ketinggian terbang sudah mencapai 12.000 kaki,  Pada fase-fase  awal  gejala  yang mulai muncul dapat berupa sakit kepala, ,otot menjadi lemah, fasciculasi otot ( kedutan ), paraestesia ( kesemutan ), sesak, cyanosis, gelisah,  kehilangan keseimbangan , intelegensi menurun, reflex menurun muncul pada ketinggian antara  14.000 – 17.000 kaki,,  tetani ( kejang ) mulai muncul pada ketinggian 18.000 kaki, kesadaran menurun, berkabut  dari  mengantuk hingga koma biasanya terjadi pada ketinggian 23.000 kaki. Namun keadaan  tersebut dapat semakin berkembang  dalam hitungan waktu 2 jam hingga 2 hari sesudahnya akan timbul komplkasi serius berupa  keadaan patologis yang lebih berbahaya, yaitu keadaan pathologis yang sering disebut  Odema Serebri Akut  ( merembesnya cairan plasma keluar dari pembuluh darah otak  menuju  parenkim otak akibat  adanya vasodilatasi arteriol serebri ) yang sering berakibat  kelumpuhan  fungsi-fungsi vital  dan motorik tubuh, dalam kasus contoh berupa Hemiparese  ( lumpuh separuh anggota  gerak tubuh )  kemudian dapat  pula terjadi komplikasi lain berupa  Odema Paru Akut ( terisinya cairan paru-paru olah cairan plasma ) yang menyebabkan keadaan sesak yang hebat dan sindroma gagal nafas akut  yang berakhir dengan kematian.


Prinsip Pendekatan dalam upaya  Pencegahan serangan hipoksia

Upaya pencegahan dan koreksi segera terhadap serangan hipoksia sangat di anjurkan , yaitu dengan memulai  melakukan bantuan  oksigenasi dengan memasang masker oksigen yang dialiri oksigen murni secara dini pada ketinggian 12.000 kaki adalah memberikan manfaat.    Hal ini disebabkan  pada ketinggian tersebut, sebagian besar ruangan alveoli paru-paru  telah  di penuhi oleh gas Nitrogen dalam volume dominan, maka dengan pemberian Oksigen murni maka akan terjadi pergeseran dimana gas oksigen  akan meneggeser dominasi gas nitrogen.
Gambaran tehadap hasil perbaikan dengan pemberian pemberian oksigen murni secara dini adalah sebagai berikut :

Jika seorang penerbang  tanpa di berikan oksigenase secara dini dan menghirup udara secara bebas sedang melakukan penerbangan pada ketinggian 30.000 kaki maka ia hanya akan mempunyai tekanan gas oksigen ( PO2 ) di alveoli paru-paru nya sebesar  18 mmHg. ( coba bandingkan dengan harga normal  batas minimal tekanan gas oksigen ( PO2 ) di  alveoli paru-paru untuk bisa berdifusi kedalam darah).

Namun jika penerbang tersebut  diberikan oksgenase  dengan memasang masker  yang dialiri oksigen murni secara dini sejak di ketinggian 12.000 kaki, maka di ketinggian 30.000 kaki akan didapat tekanan gas oksigen ( PO2 ) alveoli paru-parunya sebesar  139 mmHg.  Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa Jika seorang penerbang memulai  memasang prosedur oksigenasi murni secara dini, maka akan mampu terbang lebih tinggi di banding dengan penerbang yang terlambat memulai oksegenase dini, terlebih jika di bandingkan  dengan yang  menghirup udara bebas di ketinggian terbang.


*)     Nilai  batas maksimal ketinggian terbang yang di perbolehkan  untuk penerbang pesawat  yang  dilengkapi  dengan pengatur  tekanan dan kit oksigenase adalah 47.000 kaki dengan syarat alat-alat tersebut telah di pastikan bisa berjalan berfungsi baik.


*)     Nilai  batas maksimal ketinggian terbang yang di perbolehkan  untuk penerbang pesawat  yang  tanpa  dilengkapi dengan pengatur  tekanan dan kit oksigenase adalah 47.000 kaki dengan syarat alat-alat tersebut telah di pastikan bisa berjalan berfungsi baik.


Mungkin di abad-abad mendatang akan ditemukan suatu tehnologi ruang angkasa yang dapat  mengusung suatu atsmosfer fisologis menuju angkasa dimana manusia dapat berkoloni di ketinggian dan ruang angkasa atau bahkan dapat menumbuhkan ekosistem biotik yang lebih ramah seperti di permukaan Bumi di planet lain. Sebelum kiamat keburu tiba.

Library
Smith,  E.E., and Corwell,  J. W.  :   Influence of  hematocrit  ratio  on survival  unacclimatized  dogs  at   
      simulate  high altitude. Am. J. physiol. ,  205 : 1172,  1963.
Smith,  E.E., and Corwell,  J. W.  :   Role  of   the hematocrit  in altitude  acclimatization.  Aerospace  Med., 

      38 : 39,  1966.

Sloan,  A.  W.  :   Man. In Extreme  Environments,  Springfield,  III.  Charles C  Thomas,  1979.
Groover,  R. F., et  al  :  High  altitude  pulmonary edema .  In  Fisherman,  A. P.  and  Renkin,  E. M.  (eds.) :  Pulmonary  Edema,  Baltimore.  Waverly  Press,  1979,  p.229.

Brendel,  W.  (eds.)  :  High  Altitude  Physiology  and  Medicine.  I.  Physiology of Adaptation.  New York,  
      Springer-verlag,  1982.  
Blomqvist, C. G.,  and  Stone, H. L.  :  Cardiovascular. adjustment  to gravitational  stress, In  Sheppard, J. 
      T.  and  Abboud,  F. M. (eds.) :  Handsbook  of  Physiology. Sec. 2,  Vol. III.  Bathesda,  Md.,  American  
      Physiologycal  Society, 1983,  p. 1025.
American  Physiologycal  Society  :  High  altitude  and  Man.  Washington  D. C.,  American Physiologycal   
      Society.  1984.

Talbot,  J. M.,     and    Fisher, K.D.  :   sickness  physiologist,  27 :423.  1984. 
DeHart, R. L.,  (eds.) :  Fundamental  of  Aerospace  Medicine.  Philadelphia,  Lea &  Febiger,  1985.

West,  J.  B.  :   Human  physiology  at  extreme  altitude  on  Mount  Everest.  science, 223  : 784,  1984.
West,  J.  B.  :   Man  in  space.  News  Physiol. Sci., 1 :198,  1986.
West,   J. B.  :   Climbing  Mount  Everest  without oxygen.  News Physiol. Sci., 1 :25,  1986.
Life Sciences  Repport,  National  Aeronautics  and  Space  Administration,  Washington, D. C., December 
      1987. 
Monge,  C.,  and  Leon-Velarde, F. :  Physiologycal  adaptation  to  high  altitude:   oxygen  transport  in  
      mammals  and  birds.  Physiol.  Rev.,  71 : 1135.  1991.

Niccogossian,  A. E.,  et  al  :  Space physiology  an  Medicine.  Baltimore,  William  and  Wilkins ,  1994.





 

 




Tidak ada komentar: