KASUS
Pada masa Perang Dunia II, sering kita menemukan petikan pengakuan dari tentara sekutu yang tergabung dalam divisi pertahanan udara , menceriterakan bagaimana usaha mereka bermanuver guna menghindari sergapan pesawat-pesawat tempur jepang dan jerman dengan jalan melakukan terbang pada suatu ketinggian, dimana mereka sendiri tidak mengetahui berada pada ketinggian berapa. Hal ini di mungkinkan karena secara tehnologi banyak pesawat-pesawat yang di produksi pada era itu masih menggunakan tehnologi yang masih sederhana dan belum dilengkapi dengan kit pencatat ketinggian dan pengatur tekanan dalam pesawat. Sehingga banyak diantara mereka yang mengaku mengalami kehilangan kesadaran sesaat ( exite from wake up for a few minute ), yang didahului dengan berbagai gejala awal, mulai dari perasaan euphoria,mengantuk, reflex tubuh melambat, rasa lemas, lemah, mental bingung, kosong, kedutan otot, parestesia,bahkan ada yang pesawatnya jatuh tidak terkendali karena sang pilot mengalami proses komplikasi yang lebih berat dan jatuh dalam keadaan koma.
Natural habitat hidup manusia yang sudah berjalan sejak jutaan tahun yang lalu, dimana manusia untuk pertama kalinya mendarat di planet bumi hingga sampai di abad 21 ini , telah berhasil ber evolusi dan melakukan adaptasi ( aklimatisasi ) terhadap habitat hidup pada atsmosfir di ketinggian sejajar dengan permukaan laut , yang disebut Zona 0 ( Zona Nol ). Pada zona Nol tersebut, selama ratusan juta tahun pula,semua mekanisme system pengendalian di dalam sel tubuh manusia telah terkondisi secara fisiologis untuk bisa bekerja pada lingkungan yang mempunyai gaya bertekanan= 760 mmHg (= 1 Atm. ).
Dari berbagai penyelidikan, maka makin diketahui adanya fenomena yang berlaku alami bahwasanya semakin tinggi letak suatu habitat alam di dalam atsmosfir bumi , jika diukur dari permukaan air laut, maka semakin turun pula tekanan yang akan diterimanya, demikian sebaliknya semakin turun ke bawah di ukur dari permukaan laut, maka tekanan yang akan diterima sel tubuh manusia akan semakin besar . Sebagai gambaran :
Pada ketinggian 10.000 kaki dari zona 0, maka gaya tekanan yang diterima tubuh turun menjadi = 523 mmHg. Dan seterusnya hingga pada ketinggian 50.000 kaki maka gaya tekanan yang diterima oleh tubuh makin turun menjadi = 87 mmHg.
Gaya Tekanan dari luar sangat mempengaruhi kelangsungan hidup dari semua makhluk hidup di muka bumi. Prinsip-prinsip mekanisme kimia dan fisika yang berlaku dalam pola fisiologi kinerja sel-sel tubuh dapat kita lihat dari berbagai macam mekanisme pengaturan tubuh, mulai dari tingkat ion sampai tingkat membrane sellular semuanya menganut mekanisme proses perbedaan muatan ion dan tekanan, di samping terdapat mekanisme Transpor aktif, dimana ion akan berpindah dari suatu ruang ke ruang lain, dan terkadang untuk tujuan itu harus menembus dinding sel terlebih dahulu. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya perbedaan muatan dan tekanan antara kondisi didalam dan di luar sel. Hukum tersebut berlaku juga berlaku pada mekanisme terjadinya Proses Pernafasan ( Respirasi ). Secara fisiologi, Proses Respirasi sebenarnya merupakan bagian dari proses fisika dan kimia, yaitu berupa proses pertukaran gas O2 ( Oxygen ) dengan gas CO2 ( Carbondioksida ) didalam jaringan Alveolus Paru-paru , menembus membrane sel-sel alveoli untuk berikatan dengan Haemoglobin ( Hb) yang mempunyai PO2 yang negative, proses dapat berjalan karena adanya perbedaan tekanan antar gas-gas terutama antara gas O2 dan CO2 didalam Lumen Alveoli. Pertukaran O2 akan berlangsung baik ( dapat berdifusi masuk dalam Haemoglobin Sel Erythrocyte dengan baik ), jika terdapat suatu tekanan O2 (PO2) yang positif di lumen alveolus ( PO2 alveoli yang Positif ) sedangkan tekanan O2 (PO2) Haemoglobin di dalam sel erythrocyte ( sel darah merah ) dalam keadaan negative. Demikian juga dengan tekanan gas CO2 ( PCO2 Alveoli ) yang harus negative di dalam lumen alveoli, serta tekanan gas CO2 ( PCO2 ) yang harus positif didalam Haemoglobin (Hb) sel erythrocyte.
Jika terdapat keadaan dimana tekanan O2 dalam alveoli menurun maka seseorang akan mudah jatuh dalam kondisi hipoksia dengan gejala2 awal berupa sakit kepala, cyanosis, sesak ,otot menjadi lemah, fasciculasi, paraestesia, kehilangan keseimbangan , intelegensi menurun, reflex menurun, tetani, gelisah, kesadaran menurun, berkabut dari mengantuk hingga koma.
LINGKUNGAN HIPOKSIA
Adalah suatu habitat hidup dimana kadar oxygen, ditemukan dalam kadar sangat rendah, sehingga tidak memenuhi kuota untuk di serap oleh Haemoglobin sel erythrocyte guna keperluan sirkulasi darah sistemik
Dalam lingkungan Hipoksia maka ruang di udara akan dipenuhi oleh sejumlah fraksi-fraksi dari volume-volume gas yang justru didominasi oleh gas-gas non-oksigen, semisal : Carbondioksida ( CO2), Nitrogen, sulfur dan sebagainya.
Terdapat 2 kondisi lingkungan yang dapat menyebabkan turunnya kadar gas oxygen ( O2 ) menjadi rendah, a.l.:
1. Naiknya fraksi volume gas CO2 yang memenuhi udara di atsmosfer lingkungan tersebut.
2. Naiknya fraksi volume gas H2O (uap air ) yang memenuhi udara di atsmosfer lingkungan tersebut.
PENGARUH KETINGGIAN TERHADAP PERUBAHAN TEKANAN GAS YANG DAPAT MENCETUSKAN TERJADINYA HIPOKSIA
Seperti telah diuraikan sebelumnya, bahwa semakin tinggi suatu wilayah geografis diukur dari permukaan air laut, maka akan semakin turun pula, gaya tekanan yang akan diterima oleh seluruh benda , tidak terkecuali sel-sel tubuh dan gas-gas yang beredar di atsmosfer bumi. Hal ini tentu akan membuat perubahan yang signifikan terhadap respon sel terhadap lingkungan luar, disisi lain juga terjadi perubahan keseimbangan dari gambaran komposisi gas yang berada didalam lumen alveoli, sebagai gambaran adalah pada ketinggian Nol (= sejajar dengan permukaan air laut ), maka besarnya tekanan gas O2 di lumen alveoli adalah = 104 mmHg. Kemudian pada ketinggian 20.000 kaki maka tekanan gas O2 berkisar = 51 - 64 mmHg, tekanan gas CO2 di lumen alveoli mulai di turun bawah normal (= 40 mmHg ) namun tekanan H2O masih normal (= 47 mmhg ). Dengan adanya perubahan tekanan tersebut ternyata sangat berpengaruh terhadap tingkat kejenuhan kadar gas oksigen ( O2 ) didalam cairan darah pembuluh arteri . Perubahan tingkat kejenyhan tersebut dapat di gambarkan sebagai berikut :
1. Pada ketinggian Nol ( zona 0 ), maka tingkat kejenuhan darah arteri sebesar 98% (= 98 mmHg).
2. Pada ketinggian 10.000 kaki, tingkat kejenuhan darah arteri terhadap gas oksigen sebesar 90% ( = 90 mmHg ).
3. Pada ketinggian 20.000 kaki, tingkat kejenuhan darah arteri terhadap gas oksigen sebesar 65% – 70% ( 65 mmHg).
4. Pada ketinggian 30.000 kaki, tingkat kejenuhan darah arteri terhadap gas oksigen turun drastic menjadi sebesar 18% (= 18 mmHg.).
Untuk lebih mudah nya memahami gambaran perubahan komposisi perimbangan fraksi dari volume gas yang terdapat pada ketinggian atsmosfer bumi, maka akan di sajikan Contoh pada ketinggian 29.028 kaki. Pada ketinggian ini tercatat tekanan barometer menunjukkan angka = 253 mmHg.
Dari angka 253 mmHg ini maka sebesar = 47 mmHg- nya merupakan fraksi dari tekanan gas H2O ( uap air ), dan sisa sebesar = 206 mmHg merupakan tekanan kumulatif dari gas-gas lain. Pada beberapa orang yang sudah beradaptasi ( aklimatisasi ) , maka sebanyak = 7 mmHg dari tekanan kumulatif yang sebesar = 206 mmHg tadi, merupakan bagian dari tekanan gas CO2, sehingga masih terdapat sisa tekanan gas kumulatif sebesar = 199 mmHg, dari sisa ini maka sebesar = 39 - 40 mmHg merupakan tekanan dari gas O2 dan sisanya sebesar = 160 mmHg merupakan tekanan gas nitrogen.
Dari kondisi diatas maka akan menghasilkan tekanan oksigen ( PO2 ) di lumen alveoli paru-paru sebesar = 40 mmHg , dan nilai ini merupakan batas minimal dari Tekanan gas O2 dalam lumen alveoli untuk bisa berdifusi ke dalam darah ). Proses ini masih belum berhenti , dan dalam proses selanjut nya sebagian akan di absorbsi kedalam darah dan menyisakan tekanan oxygen di lumen alveoli ( PO2 ) sebesar = 35 mmHg. Dengan tekanan oxygen ( PO2 ) alveoli paru yang hanya sebesar = 35 mmHg ini , maka bagi orang yang belum ter- aklimatisasi ( adapted ) maka akan meninggal karena hipoksia.
Gejala klinis dari hipoksia meliputi :
Gejala dini dari hipoksia sering dirasakan mulai muncul pertama kali apabila ketinggian terbang sudah mencapai 12.000 kaki, Pada fase-fase awal gejala yang mulai muncul dapat berupa sakit kepala, ,otot menjadi lemah, fasciculasi otot ( kedutan ), paraestesia ( kesemutan ), sesak, cyanosis, gelisah, kehilangan keseimbangan , intelegensi menurun, reflex menurun muncul pada ketinggian antara 14.000 – 17.000 kaki,, tetani ( kejang ) mulai muncul pada ketinggian 18.000 kaki, kesadaran menurun, berkabut dari mengantuk hingga koma biasanya terjadi pada ketinggian 23.000 kaki. Namun keadaan tersebut dapat semakin berkembang dalam hitungan waktu 2 jam hingga 2 hari sesudahnya akan timbul komplkasi serius berupa keadaan patologis yang lebih berbahaya, yaitu keadaan pathologis yang sering disebut Odema Serebri Akut ( merembesnya cairan plasma keluar dari pembuluh darah otak menuju parenkim otak akibat adanya vasodilatasi arteriol serebri ) yang sering berakibat kelumpuhan fungsi-fungsi vital dan motorik tubuh, dalam kasus contoh berupa Hemiparese ( lumpuh separuh anggota gerak tubuh ) kemudian dapat pula terjadi komplikasi lain berupa Odema Paru Akut ( terisinya cairan paru-paru olah cairan plasma ) yang menyebabkan keadaan sesak yang hebat dan sindroma gagal nafas akut yang berakhir dengan kematian.
Prinsip Pendekatan dalam upaya Pencegahan serangan hipoksia
Upaya pencegahan dan koreksi segera terhadap serangan hipoksia sangat di anjurkan , yaitu dengan memulai melakukan bantuan oksigenasi dengan memasang masker oksigen yang dialiri oksigen murni secara dini pada ketinggian 12.000 kaki adalah memberikan manfaat. Hal ini disebabkan pada ketinggian tersebut, sebagian besar ruangan alveoli paru-paru telah di penuhi oleh gas Nitrogen dalam volume dominan, maka dengan pemberian Oksigen murni maka akan terjadi pergeseran dimana gas oksigen akan meneggeser dominasi gas nitrogen.
Gambaran tehadap hasil perbaikan dengan pemberian pemberian oksigen murni secara dini adalah sebagai berikut :
Jika seorang penerbang tanpa di berikan oksigenase secara dini dan menghirup udara secara bebas sedang melakukan penerbangan pada ketinggian 30.000 kaki maka ia hanya akan mempunyai tekanan gas oksigen ( PO2 ) di alveoli paru-paru nya sebesar 18 mmHg. ( coba bandingkan dengan harga normal batas minimal tekanan gas oksigen ( PO2 ) di alveoli paru-paru untuk bisa berdifusi kedalam darah).
Namun jika penerbang tersebut diberikan oksgenase dengan memasang masker yang dialiri oksigen murni secara dini sejak di ketinggian 12.000 kaki, maka di ketinggian 30.000 kaki akan didapat tekanan gas oksigen ( PO2 ) alveoli paru-parunya sebesar 139 mmHg. Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa Jika seorang penerbang memulai memasang prosedur oksigenasi murni secara dini, maka akan mampu terbang lebih tinggi di banding dengan penerbang yang terlambat memulai oksegenase dini, terlebih jika di bandingkan dengan yang menghirup udara bebas di ketinggian terbang.
*) Nilai batas maksimal ketinggian terbang yang di perbolehkan untuk penerbang pesawat yang dilengkapi dengan pengatur tekanan dan kit oksigenase adalah 47.000 kaki dengan syarat alat-alat tersebut telah di pastikan bisa berjalan berfungsi baik.
Niccogossian, A. E., et al : Space physiology an Medicine. Baltimore, William and Wilkins , 1994.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar